Kebudayaan Keris

MAKALAH ILMU BUDAYA DASAR

KEBUDAYAAN KERIS

 

Disusun Oleh:

BRAIKE REMA ALFIAN MARLIANDO

51417247

 

TEKNIK INFORMATIKA

UNIVERSITAS GUNADARMA

 

BAB I
Pendahuluan

  • Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.000 pulau. Pulau-pulau tersebut memiliki beragam budaya. Dikarenakan banyak memiliki budaya, tiap pulau memiliki ciri khas masing masing, namun memiliki kemiripan.

Salah satu budaya di Indonesia adalah Keris. Keris merupakan senjata dari budaya Indonesia yang terdapat pada  Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatra, pesisir Kalimantan. Namun terdapat juga tersebar disebalah utara Indonesia seperti Semenanjung Melayu, Filiphina, dan Thailand Selatan.

Saya memilih budaya ini, karena memiliki nilai khas sendiri dan tersebar hampir seluruh Indonesia.

  • Rumusan Masalah

Berdasarkan isi dari makalah ini, ada beberapa masalah yang perlu dibahas agar kita dapat mengetahui dan memahami keris diantaranya adalah

  • Apa pengertian Keris?
  • Bagaimana asal usul keris?
  • Bagaimana fungsi keris pada masa kini?

 

  • Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dibuatnya makalah ini, diantaranya:

  1. Pembaca dapat memahami lebih dalam budaya Keris
  2. Pembaca dituntut untuk menjaga budaya keris.

BAB II
Teori
Budaya

Budaya adalah bentuk jama’ dari Budi dan Daya yang berarti Cinta, kasra, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa sansekerta Budaya yaitu bentuk jama’ dari kata Budhi yang berarti budi atau akal. Dalam bahasa inggris, kata budaya berasal dari kata Culture, dalam bahasa Latin berasal dari kata ColeraColera berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, mengembangkan tanah (bertani).

Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, seringkali bilahnya berkelok-kelok, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu terlihat serat-serat lapisan logam cerah pada helai bilah.

 

BAB III

Pembahasan

 

Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, seringkali bilahnya berkelok-kelok, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu terlihat serat-serat lapisan logam cerah pada helai bilah. Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan dengan keris adalah badik. Senjata tikam lain asli Nusantara adalah kerambit.

Asal Usul Keris

Asal usul keris belum sepenuhnya terjelaskan karena tidak ada sumber tertulis yang deskriptif mengenainya dari masa sebelum abad ke-15, meskipun penyebutan istilah “keris” telah tercantum pada prasasti dari abad ke-9 Masehi. Kajian ilmiah perkembangan bentuk keris kebanyakan didasarkan pada analisis figur di relief candi atau patung. Sementara itu, pengetahuan mengenai fungsi keris dapat dilacak dari beberapa prasasti dan laporan-laporan penjelajah asing ke Nusantara.

Senjata tajam dengan bentuk yang diduga menjadi sumber inspirasi pembuatan keris dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan perundagian dari Kebudayaan Dongson dan Tiongkok selatan. Dugaan pengaruh kebudayaan Tiongkok Kuno dalam penggunaan senjata tikam, sebagai cikal-bakal keris, dimungkinkan masuk melalui kebudayaan Dongson (Vietnam) yang merupakan “jembatan” masuknya pengaruh kebudayaan Tiongkok ke Nusantara. Sejumlah keris masa kini untuk keperluan sesajian memiliki gagang berbentuk manusia (tidak distilir seperti keris modern), sama dengan belati Dongson, dan menyatu dengan bilahnya.

Sikap menghormati berbagai benda-benda garapan logam dapat ditelusuri sebagai pengaruh India, khususnya Siwaisme. Prasasti Dakawu (abad ke-6) menunjukkan ikonografi India yang menampilkan “wesi aji” seperti trisula, kudhi, arit, dan keris sombro. Para sejarawan umumnya bersepakat, keris dari periode pra-Singasari dikenal sebagai “keris Buda”, yang berbentuk pendek dan tidak berluk (lurus), dan dianggap sebagai bentuk awal (prototipe) keris. Beberapa belati temuan dari kebudayaan Dongson memiliki kemiripan dengan keris Buda dan keris sajen. Keris sajen memiliki bagian pegangan dari logam yang menyatu dengan bilah keris. Dalam bahasa Jawa, “buda” artinya kuno.

Keris modern yang dikenal saat ini diyakini para pemerhati keris memperoleh bentuknya pada masa Majapahit (abad ke-14) tetapi sesungguhnya relief di Candi Bahal peninggalan Kerajaan Panai/Pane (abad ke-11 M), sebagai bagian dari kerajaan Sriwijaya, di Portibi Sumatera Utara, menunjukan bahwa pada abad 10-11M keris modern sebagaimana yang dikenal sekarang sudah menemukan bentuknya, selain itu uji karbon pada keris temuan yang berasal dari Malang Jawa Timur yang ditemukan utuh beserta hulu/dedernya yang terbuat dari tulang sehingga terhadap dedernya dapat dilakukan analisis karbon, menunjukan hasil bahwa keris tersebut berasal dari abad 10M.

Berdasarkan relief keris modern paling awal pada candi Bahal Sumatera Utara dan penemuan keris budha dari Jawa Timur yang sama- sama menunjukan usia dari abad 10M dapatlah diperkirakan bahwa pada sekitar abad 10 masehi mulai tercipta keris dalam bentuk nya yang modern yang asimetris.

Dari abad ke-15, salah satu relief di Candi Sukuh, yang merupakan tempat pemujaan dari masa akhir Majapahit, dengan gamblang menunjukkan seorang empu tengah membuat keris. Relief ini pada sebelah kiri menggambarkan Bhima sebagai personifikasi empu tengah menempa besi, Ganesha di tengah, dan Arjuna tengah memompa tabung peniup udara untuk tungku pembakaran. Dinding di belakang empu menampilkan berbagai benda logam hasil tempaan, termasuk keris.

Catatan Ma Huan dari tahun 1416, anggota ekspedisi Cheng Ho, dalam “Ying-yai Sheng-lan” menyebutkan bahwa orang-orang Majapahit selalu mengenakan (pu-la-t’ou)yang diselipkan pada ikat pinggang. Mengenai kata Pu-la-t’ou ini, meskipun hanya berdasarkan kemiripan bunyi, banyak yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah “belati”, dan karena keris adalah senjata tikam sebagaimana belati maka dianggap pu-la-t’ou menggambarkan keris. Tampaknya masih harus dilakukan penelitian apakah betul pada masa majapahit keris disebut “belati” tetapi terdapat deskripsi yang menggambarkann bahwa “belati” ini adalah keris dan teknik pembuatan pamor telah berkembang baik.

Bisa jadi yang dimaksud oleh Ma Huan dengan Pulat’ou adalah “Beladau”. Kata “beladau” lebih menyerupai “Pu- La-T’ou” daripada “belati”. Kalau benar yang dimaksud Ma Huan adalah beladau pada maka gambaran Ma Huan tentang senjata yang banyak digunakan di Majapahit ini bukan keris tetapi senjata tradisional sejenis Badik yang sekarang banyak digunakan di Sumatera yang bentuknya melengkung mirip Jambiya, meskipun senjata ini memiliki kecondongan tetapi tidak memiliki ganja dan gandik sehingga tidak dapat digolongkan sebgai keris. Anggapan bahwa yang dimaksud dengan Pu-La-T’ou adalah Beladau pun masih memerlukan penelitian apakah memang pada masa majapahit masyarakat banyak memakai beladau/sejenis badik sebagai senjata.

Keris disebutkan dalam naskah Sunda dari tahun 1440 Saka (1518 M), Sanghyang siksakanda ng karesian pupuh XVII, yang menyebutkan bahwa keris adalah senjata Prabu, (raja, golongan kesatria). Naskah ini membagi senjata dalam masyarakat Kerajaan Sunda ke dalam tiga golongan; senjata untuk prabu (raja, menak, atau golongan ksatriya) adalah pedang, pecut, pamuk, golok, peso teundeut, dan keris; senjata untuk kaum petani adalah kujang, baliung, patikkored, dan pisau sadap; sementara senjata kaum pendeta adalah kala katri, peso rautpeso dongdangpangot, dan pakisi.

Tome Pires, penjelajah Portugis dari abad ke-16, menyinggung tentang kebiasaan penggunaan keris oleh laki-laki Jawa. Deskripsinya tidak jauh berbeda dari yang disebutkan Ma Huan seabad sebelumnya.

Berita-berita Portugis dan Perancis dari abad ke-17 telah menunjukkan penggunaan meluas pamor dan pemakaian pegangan keris dari kayu, tanduk, atau gading di berbagai tempat di Nusantara.

 

 

 

 

Fungsi Keris di Masa Kini

Pemaparan-pemaparan asing menunjukkan fungsi keris sebagai senjata di kalangan awam Majapahit. Keris sebagai senjata memiliki bilah yang kokoh, keras, tetapi ringan. Berbagai legenda dari periode Demak-Mataram mengenal beberapa keris senjata yang terkenal, misalnya keris Nagasasra Sabukinten.

Laporan Perancis dari abad ke-16 telah menceritakan peran keris sebagai simbol kebesaran para pemimpin Sumatera (khususnya Kesultanan Aceh). Godinho de Herediadari dari Portugal menuliskan dalam jurnalnya dari tahun 1613 bahwa orang-orang Melayu penghuni Semenanjung (“Hujung Tanah”) telah memberikan racun pada bilah keris dan menghiasi sarung dan hulu keris dengan batu permata.

“Penghalusan” fungsi keris tampaknya semakin menguat sejak abad ke-19 dan seterusnya, sejalan dengan meredanya gejolak politik di Nusantara dan menguatnya penggunaan senjata api. Dalam perkembangan ini, peran keris sebagai senjata berangsur-angsur berkurang. Sebagai contoh, dalam idealisme Jawa mengenai seorang laki-laki “yang sempurna”, sering dikemukakan bahwa keris atau curiga menjadi simbol pegangan ilmu/keterampilan sebagai bekal hidup. Berkembangnya tata krama penggunaan keris maupun variasi bentuk sarung keris (warangka) yang dikenal sekarang dapat dikatakan juga merupakan wujud penghalusan fungsi keris.

Berbagai cara mengenakan keris berdasarkan Kebudayaan Jawa.

 

Pada masa kini, kalangan perkerisan Jawa selalu melihat keris sebagai tosan aji atau “benda keras (logam) yang luhur”, bukan sebagai senjata. Keris adalah dhuwung, bersama-sama dengan tombak; keduanya dianggap sebagai benda “pegangan” (ageman) yang

 

 

diambil daya keutamaannya dengan mengambil bentuk senjata tikam pada masa lalu. Di Malaysia, dalam kultur monarki yang kuat, keris menjadi identitas kemelayuan.

 

Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-masing daerah. Di daerah Jawa dan Sunda misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai tetapi ditempatkan di depan pada masa perang. Penempatan keris di depan dapat diartikan sebagai kesediaan untuk bertarung. Selain itu, terkait dengan fungsi, sarung keris Jawa juga memiliki variasi utama: gayaman dan ladrang. Sementara itu, di Sumatra, Kalimantan, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan dalam upacara-upacara kebesaran.

 

BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN

Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcicng dan tajam pada kedua sisinya). Bentuknya sangat khas dan mudah dibedakan dengan senjata tajam lainnya karena tidak simetri tidak simetris dibagian pangkal yang melebar.

Penggunaan keris tersebar di Indonesia seperti di pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan. Keris Bahkan tersebar di semenanjung melayu, Filiphina bagian selatan. Penggunaan keris dimasa kini digunakan untuk hiasan pada pakaian adat, hiasan dinding dan penghusiran jin.

 

 

Daftar Pustaka

http://rino24t.blogspot.co.id/2015/10/perkembangan-fungsi-keris.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Keris